October 1, 2006

Kesalehan Sosial Yang Semu



Oman Fathurahman

Ramadan dan Idul Fitri memang membawa berkah, tidak saja karena pada kedua bulan ini setiap Muslim dapat berharap akan mendapat rahmat dan ampunan yang dijanjikan Tuhan, tapi juga karena kedua bulan suci ini sering menjadi momentum tahunan bagi orang berada untuk menyantuni kaum miskin dan papa. Ya, memang, agama sendiri mengajarkan agar umat Islam tidak hanya bisa menjadi saleh secara individu, tapi juga saleh secara sosial.

Selama bulan Ramadan lalu misalnya, sejumlah komponen masyarakat, termasuk ormas keagamaan dan partai politik, seolah berlomba menyantuni masyarakat miskin dengan menyediakan hidangan buka puasa dan membuka posko-posko mudik. Pada hari-hari menjelang lebaran, dana hasil pengumpulan zakat pun dibagikan kepada mereka yang hampir setiap harinya tidak pernah merasakan kenyangnya makan.

Lalu, memasuki hari Idul Fitri, berbagai seruan khatib di atas mimbar agar umat Islam menekankan kesalehan sosial melalui sumbangan zakat fitrah dan zakat mal, juga selalu kita dengar. Beberapa hari lalu, saya misalnya mendengar Kang Jalal berbicara di sebuah tayangan TV, dan menegaskan bahwa ajaran zakat dalam Islam benar-benar menekankan pentingnya seseorang menjadi saleh secara sosial, buktinya kita dianjurkan menyelesaikan kewajiban zakat dulu sebelum pergi menunaikan ibadah shalat Ied.

Kita pun menyaksikan para pejabat, atau mantan pejabat, yang menggelar open house di tempat tinggalnya masing-masing. Tidak seperti hari-hari biasanya, dalam kesempatan itu rakyat jelata pun dapat bertemu dan bersalaman dengan pemimpinnya, atau sekedar untuk mencicipi hidangan yang disediakan…Begitulah, “ritual” ini terjadi hampir setiap tahun.

Lalu, apakah bangsa ini menjadi semakin baik? Apakah kesalehan sosial seperti itu telah mampu menuntaskan kemiskinan, memberikan kesejahteraan bagi rakyat miskin, dan menjamin pendidikan anak-anak? Rasanya kok belum…kalau begitu, apa fungsi ajaran sosial dalam beragama?

Memang, sejumlah orang kelaparan kemudian mendapat berkah dan dapat menghemat uang belanjanya yang sebelumnya sangat pas-pasan...impian seorang papa untuk memiliki kursi roda pun mungkin kini telah terwujud setelah “silaturahmi“ dengan Presiden …orang-orang miskin di kampung juga kini pasti sedang bergembira karena kecipratan rezeki kerabat dan tetangganya yang mudik dari ibukota…tapi sampai kapan mereka akan menikmati semua itu? Bukankah “drama itu selalu berakhir hanya beberapa hari saja ketika Ramadan dan Idul Fitri berlalu? ketika para pemudik kembali ke “habitat“nya, dan ketika semua orang disibukkan kembali dengan rutinitasnya masing-masing?

Kapan Negara ini punya sistem yang baik untuk mensejahterakan rakyatnya? Apakah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan kesejahteraan masyarakat cukup ada dalam Pancasila dan Undang-undang “saja? atau mungkin betul kata kawan saya yang bilang bahwa dibanding Negara-negara maju sekalipun kita sebetulnya sudah punya sistem ketatanegaraan yang baik, punya budaya gotong royong dan tepo saliro, dan bahkan punya potensi alam yang sangat kaya. Masalah ketertinggalan, kemiskinan, dan kemelaratan rakyat kita lebih karena disebabkan pada kekeliruan dalam mengelolanya.

Melihat realitas bangsa ini dari jauh, dan apalagi membandingkannya dengan sebuah negara tempat saya tinggal sekarang, sungguh pilu rasanya hati ini.

Tanpa perlu slogan-logan agama untuk menyisihkan sebagian dari penghasilannya, masyarakat Jerman umumnya mengeluarkan hampir 48% dari penghasilannya untuk digunakan sebagai subsidi bagi rakyat lain yang nasibnya tidak lebih beruntung, atau sebagai subsidi untuk keperluan-keperluan sosial lainnya. Tanpa perlu pamer kesalehan sosial, banyak masyarakat Jerman yang sudah lebih duluan merealisasikan amanah ustaz-ustaz kita itu…dan berhasil membuat lapisan masyarakat lain sejahtera.

Melalui subsidi yang kemudian dikelola dengan baik oleh Negara tersebut, biaya pendidikan menjadi sangat murah, dan bahkan dalam jenjang tertentu gratis sama sekali. Kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan anak-anak pun menjadi sangat terjamin. Jerman memiliki apa yang disebut sebagai child benefit (Kindergeld), subsidi negara diberikan kepada setiap tiga anak pertama di bawah 18 tahun, sedangkan anak keempat, kelima, dan seterusnya mendapat subsidi yang lebih besar. Bahkan, bagi setiap balita di bawah 2 tahun, Negara Jerman juga memberikan apa yang disebut sebagai child-raising allowance (Erziehungsgeld), tanpa pandang bulu, apakah dia anak warga negara Jerman atau anak warga asing, selama dia tinggal di negara ini, dan memenuhi syarat-syarat administratif tertentu, dia akan mendapatkan hak-haknya sebagai seorang anak.

Dalam konteks kesejahteraan rakyat, bukankah gambaran salah satu model pengelolaan “aset negara“ seperti itu sangat ideal? Bukankah ajaran zakat dalam Islam juga dimaksudkan untuk tu’khadhu min agniyâ’ihim wa turaddu ilâ fuqarâ’ihim ..? (diambil dari orang kaya, lalu didistribusikan kepada kaum papa) Bukankah 90% masyarakat kita ini adalah muslim yang diwajibkan mengeluarkan zakat? Dan aset serta potensi alam kita pun sedemikian kaya? Lalu mengapa problem kemiskinan di kita tidak pernah tuntas? Alokasi dana pendidikan juga hanya bertambah di atas kertas saja?

Saya yakin, kemampuan Pemerintah Jerman untuk menerapkan subsidi serta mewujudkan kesejahteraan sosial seperti itu tidak ada hubungannya dengan agama yang dipeluk oleh masyarakatnya, bukan pula karena dasar negara dan undang-undangnya lebih lengkap dari negara kita, tapi lebih karena adanya komitmen bersama untuk mewujudkan aturan-aturan serta doktrin-doktrin yang telah dimiliki.

Dus, sudah saatnya kita berfikir untuk bisa mengejawantahkan ajaran agama tentang kesalehan sosial itu dalam bentuk-bentuk yang tidak lagi semu dan instan, sehingga tidak ada tudingan bahwa kesalehan sosial masyarakat kita selama ini lebih untuk kepentingan politis belaka, atau untuk mencari popularitas saja.

Salajengna......