December 11, 2007

Nikmatnya 'dihargai' dan Indahnya Toleransi

Gambar diambil dari situs ini.

Sore ini anak-anakku, Fadli dan Alif, pulang sekolah. Seperti biasa, mereka memperlihatkan segala sesuatu yang dibawa atau dititipkan oleh gurunya, seperti surat, pekerjaan rumah, atau kadang-kadang hadiah tanda kasih.

Tapi sore ini bawaan Alif agak spesial, sebuah amplop berisi kartu ucapan selamat atas rencana keberangkatan kami sekeluarga menunaikan ibadah haji. "Frau" Ruth Gummersbach, berujar:

"We all wish you a pleasant flight to Kairo, and good hadj in Mekka"

Mengapa spesial? Ya, karena ucapan selamat ini disampaikan oleh seorang yang berbeda agama. Bagiku, inilah wujud dari sebuah toleransi antarsesama umat beragama. Aku pun ingin mengucapkan "Fröhliche Weihnachten und ein glückliches neues Jahr 2008" bagi mereka yang merayakannya!

Lebih dari sekedar toleran, Sekolah "Erick-Kästner" ini sungguh telah memperlihatkan pengakuan dan penghargaan atas kebebasan umat beragama lain untuk menjalankan ritual berdasarkan keyakinan masing-masing. Libur Natal masih seminggu lagi, tapi Kepala Sekolahnya, "Frau" M. Blankertz, mengizinkan anak-anakku untuk berlibur lebih awal karena harus mengikuti kami yang akan menunaikan ibadah haji, mereka bahkan memberikan ucapan selamat pula bagi kami.

Dengan perlakuan seperti itu, sungguh aku merasakan 'kenikmatan' sebagai minoritas umat beragama, yang hidup di tengah-tengah mayoritas umat beragama lain. Pengalaman menjadi minoritas memang penting untuk membentuk sikap toleran. Andai saja setiap umat berbeda agama bisa hidup berdampingan, sungguh indah hidup ini.

Salajengna......

December 10, 2007

Si Encep "Sabondoroyot" Munggah Haji

Kalau tidak ada aral melintang, besok (11/12), aku, istri tercinta dan ketiga buah hatiku akan memulai perjalanan yang jauh berbeda dengan perjalanan-perjalanan kami sebelumnya selama tinggal di Jerman sejak pertengahan 2006 lalu.

Kalau sebelumnya kami sering pesiar mengunjungi kota-kota cantik di Eropa, kini tiba gilirannya kami melakukan perjalanan yang lebih bersifat spiritual, yakni ibadah haji, atau orang Sunda bilang mah, munggah haji….

Ya, begitulah, meski dengan langkah tertatih-tatih karena lumayan banyaknya rintangan teknis administratif, alhamdulillah akhirnya semua persiapan selesai dengan baik. Ini berkat saudara-saudara kami di Bonn dan Koeln yang dengan gigih membantu mengurus semua persyaratan administratif yang diperlukan, terima kasih Pak Bram, terima kasih Pak Hosi, terima kasih Pak Harto dan Bu Irma, sekarang “Si Encep” sabondoroyot mau munggah haji………….

Salah satu ‘kunci perantara’ hingga aku dan keluarga bisa mendapatkan izin perjalanan haji adalah karena aku menggabungkan jadwal haji dengan kegiatan akademik lain yang berkaitan dengan tugas utamaku sebagai peneliti tamu atas beasiswa the Alexander von Humboldt Foundation di Jerman. Selain itu, yang juga sangat menentukan diproses atau tidaknya visa haji kami adalah surat undangan untuk menunaikan haji dari Pak Nursamad Kamba, Kepala Konsulat Haji di KJRI Jeddah.

Sungguh aku juga bersyukur bermitra dengan Edwin Wieringa, Professor yang mengundangku untuk melakukan penelitian di Jerman, yang sangat baik hati, empati, dan bisa mengerti semua yang aku butuhkan, sehingga ia pun memberikan dukungan penuh bagi rencana haji yang digabungkan dengan aktivitas akademik ini.

Salah satu agenda akademikku adalah pada tanggal 12 Desember nanti, saat aku akan memberikan ceramah di hadapan mahasiswa-mahasiwa Indonesia berbagai tingkatan di Cairo, dalam sebuah acara bertajuk: “Filologi dan Revitalisasi Kajian Naskah-naskah Keagamaan Nusantara di Cairo”. Atase Kebudayaan dan Pendidikan KBRI Cairo berkenan mengundangku sebagai pembicara tunggal. Konon, acaranya sendiri dikerjasamakan dengan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Mesir.

Sehari kemudian, pada pagi dan siang harinya, aku akan melakukan ‘riset singkat’ di dua perpustakaan besar di Cairo, yakni Perpustakaan Dar al-Kutub dan Perpustakaan Universitas Al-Azhar. Kebetulan beberapa manuskrip yang menjadi sumber primer penelitianku tersimpan di dua perpustakaan ini; dan aku telah mendapatkan salinannya beberapa waktu lalu atas bantuan kawan-kawan di Cairo, khususnya Pak Amin Samad.

Sebuah acara ramah tamah pada sore harinya juga rupanya sudah diagendakan oleh Racipta, sebuah paguyuban alumni santri Pesantren Cipasung di Mesir. Cipasung! Ah, aku sangat bangga, Pesantren ini yang pertama membentukku menjadi seorang santri. Wah, aku senang bukan kepalang, karena berarti juga akan berkumpul dengan kawan-kawan dari 'habitat' yang sama, meski pasti berbeda angkatan.

Nah, baru kemudian pada malam harinya kami akan memasuki Kota Jeddah, menginap semalam di Kota ini, dan kemudian menuju Makkah untuk mengikuti ritual pelaksanaan ibadah umrah dan haji,
sebelum dilanjutkan ziarah ke Kota al-Madinah al-Munawwarah.

Seharusnya, di Saudi Arabia sendiri aku melakukan riset tambahan dengan mengunjungi
King Faisal Center for Research and Islamic Studies, karena beberapa sumber penelitianku juga terdapat di sini. Tapi, agenda ini kemungkinan besar tidak akan terlaksana, mengingat semua lembaga di Saudi Arabia tutup selama musim haji.

Menurut rencana, tanggal 28 Desember kami sudah akan meninggalkan Jeddah, dan kembali mampir di Cairo untuk melanjutkan agenda riset serta melengkapi dengan wisata di Kota Piramid ini. Baru kemudian pada 31 Desember kami akan kembali ke Bonn, dan menyongsong tahun baru 2008 di kota nan resik ini. Semoga semua rencana kami ini akan berjalan dengan baik, dan mendapat Rida-Nya, amin.

Ah, aku ingin mempersembahkan perjalanan hajiku ini secara khusus buat Bapakku di kampung halaman, seorang yang sering berkata: “Bapak bangga Encep bisa jalan-jalan ke Negara-negara lain, tapi akan lebih bangga kalau juga menyempatkan ‘jalan-jalan’ ke Mekkah”. Moga Bapak yang kini hanya bisa berbaring di atas kasur menyempurnakan kebanggaan buat anaknya. Si Encep munggah haji, Pak…!



Salajengna......

December 9, 2007

Kepala Sekolah yang Pemulung.........

Berita Indosiar di bawah ini membuat aku tidak bisa banyak berkata-kata....ah, hidup ini!

Hidup, tak selamanya bisa memilih. Itulah yang dirasakan Mahmud, seorang guru, bahkan kini menjadi kepala sekolah salah satu sekolah agama di Cengkareng, Jakarta Barat. Ia seperti hidup di antara dua dunia yang sangat berbeda, menjadi guru di satu saat, dan karena alasan ekonomi menjadi pemulung sampah di saat lain. Inilah potret nyata kehidupan guru di tanah air.

Selengkapnya, silahkan baca di sini

Ssssst....dulu aku juga pedagang asongan di Jakarta, sudah sepatutnya aku bersyukur nasib baik masih berpihak padaku.....terima kasih Tuhanku!

Salajengna......

December 2, 2007

Bejat!!!

Bangsa ini sungguh menyimpan banyak masalah, Pak! Biarkan aku teriak selagi aku bisa....!

Tengoklah berita tentang konspirasi jahat ini: lima arca purbakala yang telah menjadi aset Museum Radya Pustaka Solo, Jawa Tengah selama puluhan tahun ternyata telah dipalsukan oleh Kepala Museum Radya Pustaka sendiri, Kanjeng Raden Tumenggung Dharmodipuro alias Mbah Hadi, yang berkonspirasi dengan orang-orang picik tak berbudaya!

Tentu ini bukan berita baru. Eksploitasi dan penjualan benda-benda cagar budaya dalam bentuk manuskrip-manuskrip kuno sesungguhnya telah berlangsung lebih lama. Masyarakat pemilik naskah-naskah tersebut secara pribadi dan turun temurun merasa bahwa tidak ada yang salah dengan penjualan khazanah budaya yang dipegangnya karena barang-barang itu adalah properti pribadinya.

Itulah bedanya Indonesia dengan negara lain. Di Jepang, undang-undang Negaranya mengatur bahwa benda-benda bersejarah bukanlah properti pribadi, melainkan milik Negara, sekalipun awalnya berada di tangan orang per orang, sehingga benda-benda ini harus diserahkan kepada Negara dan disimpan di museum-museum yang dikelola dengan baik, tentunya tidak 'dirampok' oleh kepala museumnya sendiri.

Mbah Hadi sungguh telah berkhianat, bukan hanya terhadap Museum Radya Pustaka atau warga solo belaka yang telah mengangkatnya sebagai sesepuh, melainkan terhadap bangsa Indonesia yang bersama-sama telah 'melahirkan' arca Agustya, Durga Mahesa Sura Madini, Durga Mahesa Sura Madini II, Siwa, dan arca Mahakala ratusan tahun yang lalu.

Ah, Mbah.......

Salajengna......